Thursday, July 7, 2011

Tiada Perdamaian di Shangri-La – Konflik China dan Tibet


(WARNING: Gruesome Photographs. Viewer Discretion Advised. )


Se belum lihat photo-photonya mari kita lihat dulu sejarahnya
Istana Potala di Lhasa

Setengah abad yang silam pemimpin spiritual Tibet terpaksa meninggalkan Lhasa, ibukota tanah airnya. Sejak itu ia tinggal di pengasingan. Konflik antara Tibet dan China tampaknya masih akan berlangsung lama.

17 Maret 1959 pemimpin spiritual Tibet, Dalai Lama melarikan diri dari pasukan China yang memasuki Tibet. Sejak itu ia harus tinggal di pengasingan dan mengupayakan agar perjuangan rakyat Tibet untuk mendapatkan hak-haknya dari kekuasaan pendudukan China, tidak terlupakan. Pendengar, untuk mengingat 50 tahun konflik Tibet-China,
Sejak meninggalkan tanah airnya Tibet, Dalai Lama tampil di dunia sebagai pembela yang gigih bagi hak otonomi warga Tibet. Awal Februari lalu ia kembali datang ke Jerman untuk menerima tanda penghargaan media Jerman „Medienpreis” di Baden-Baden. Pada kesempatan itu, Dalai Lama memperingatkan bahwa kebudayaan Tibet terancam punah:
„Karena para komunis China berpandangan sempit dan berpikir dalam jangka pendek. Mereka menganggap kepercayaan dan warisan budaya Tibet yang unik sebagai sumber bahaya separatisme.”
Sikap ini juga dikenal oleh Dieter Schuh, guru besar emeritus Tibetologi di Bonn yang acap kali mengunjungi Tibet. Schuh meringkas sikap Cina:
„Orang China punya kecurigaan mendalam terhadap warga Tibet yang tidak loyal.”
Dalai Lama (tengah) saat menerima penganugerahan 'Medienpreis'
Upaya penangkapan Dalai Lama
Ketika Dalai Lama melarikan diri ke pengasingan tahun 1959, angkatan bersenjata China sudah sembilan tahun berada di Tibet. Dan yang dinamakan kesepakatan 17 butir dari tahun 1951 yang menjamin otonomi Tibet sudah lama tergerogoti. Pakar China dan sejarah punya pandangan sama, yakni: pemerintah di Beijing saat itu mengambil langkah yang menentukan untuk memantapkan kekuasaannya di Tibet: Mereka hendak menangkap Dalai Lama. Dalai Lama pernah menerima undangan menghadiri pertunjukan sandiwara di sebuah markas angkatan bersenjata pada 10 Maret, namun dengan persyaratan untuk datang tanpa pengawal. Pakar Tibet Dieter Schuh menegaskan:
„Menurut informasi yang hingga kini kami terima, memang telah direncanakan untuk mendeportasi Dalai Lama ke China. Melalui pembungkaman Dalai Lama, obyek identifikasi rakyat Tibet akan lenyap dari Tibet. Tentunya China mengira, dengan begitu Dalai Lama akan dapat lebih mudah dimanipulasi.”
Masa gelap merebak di Tibet
Tetapi rencana penangkapan itu gagal. Sekitar 30. 000 warga Tibet mengelilingi kediaman musim panas Dalai Lama dan menghalanginya untuk memenuhi undangan China. Setelah sekitar sepuluh tahun pendudukan China, kegusaran rakyat Tibet meledak dan menuntut penarikan pasukan China. Selama sepekan demonstrasi menentang pendudukan China digelar. Pada 17 Maret 1959 pasukan China mulai membom areal istana. Dalai Lama waktu itu memutuskan untuk melarikan diri dan rakyat Tibet memberontak. Namun, warga Tibet tidak berdaya melawan kekuatan adidaya militer China. Pemberontakannya dengan cepat dapat dipadamkan. Perkiraan hati-hati menyebut, sekitar 3. 000 korban tewas. Kemudian 18 bulan setelahnya sekitar 87. 000 warga Tibet tewas dalam aksi militer angkatan bersenjata China. Demikian tercantum dalam dokumen para eksil Tibet.
Pemberontakan Tibet Maret 1959 ditaklukkan China
Masa gelap kemudian mulai merebak di Tibet. Terutama kesepuluh tahun revolusi budaya China antara 1966 dan 1976 merupakan bencana budaya bagi negeri itu. Pakar China dari Hamburg, Oskar Weggel menyaksikan dengan mata sendiri dampaknya:
„Mula-mula sekitar 3. 000 vihara dirusak. Ketika saya ke Tibet untuk pertama kalinya pada akhir tahun 70-an, di mana-mana sepanjang jalur dari Lhasa ke Xigatse terlihat puing-puing rumah dan biara. Sangat menyedihkan. Kemudian para bhiksu dipaksa untuk menikah, padahal mereka menurut agama mereka dianjurkan hidup tanpa isteri. Tibet yang hingga pemberontakan tahun 1959 secara meluas mandiri dan terikat pada kebudayaannya, tiba-tiba terseret ke tengah komunitas maois, perserikatan dan slogan Mao yang berbunyi „Langkah besar ke depan”. Itu tentu merupakan shock besar yang sampai saat ini tidak dapat diterima rakyat.”
Hu Yaobang bawa angin baru
Mao meninggal tahun 1976. Jarum jam politik bergerak kembali. Tahun 1980 Hu Yaobang terpilih sebagai Sekretaris Jendral Partai Komunis. Ia adalah seorang penggerak reformasi dan politisi terkuat di negara itu. Kemudian muncul harapan-harapan warga Tibet. Kelsang Gyaltsen, wakil Dalai Lama di Jerman mengingat saat itu:
„Ada berbagai pidato Hu Yaobang. Pada pidato-pidatonya itu ia menjelaskan, warga Tibet harus memiliki kekuasaan otonomi di Tibet. Ia juga memutuskan, 85 persen dari kader China akan ditarik dari Tibet dan warga Tibet sendiri yang akan mengurus wilayahnya. Ini yang patut dipuji pada Hu Yaobang. Tidak hanya kebijakan politik ini saja. Mei 1980 saat ia berkunjung ke Tibet, di Lhasa ia meminta maaf atas kebijakan politik yang salah dari pemerintahan pusat China di Tibet. Ini sesuatu yang belum pernah dialami warga Tibet, yaitu seorang petinggi dan pemimpin Partai China mengakui kesalahan.”
Kelompok reaksioner China unjuk gigi
Namun, program reformasi Hu Yaobang tidak diterima oleh semua anggota polit biro Partai Komunis China. 1987 ia disingkirkan. Pakar China Oskar Weggel menjelaskan:
„Dibandingkan dengan kelompok reaksioner yang secara prinsip masih menyetujui garis-garis reformasi Deng Xiaoping, dia dapat dikatakan merupakan sayap lain. Hu Yaobang adalah sayap liberal, jika kita boleh menggunakan kata itu dalam konteks China. Kebijakan politik yang sangat liberal itu tentunya merupakan duri di mata elemen-elemen konservatif. Yang termasuk dalam unsur konservatif itu saat ini adalah pemimpin China, Hu Jintao.”
20 tahun yang silam, Presiden China saat ini, Hu Jintao menjabat sebagai pemimpin Partai Komunis China di Tibet. Tahun 1989 terjadi aksi protes besar-besaran dalam rangka memperingati 30 tahun pemberontakan di Tibet. Hu Jintao kemudian memberlakukan keadaan darurat perang dan memerintahkan untuk menumpas para demonstran secara brutal. Kebrutalan terhadap warga Tibet masih terlihat selama dua dasawarsa setelah peristiwa itu. Namun, dalam satu hal yang penting, Beijing telah mengubah taktiknya di negeri atap dunia itu. Demikian menurut pakar Tibet, Dieter Schuh:
„Mereka mencoba mengubah sikap warga Tibet. Tapi gagal. Karena itu, kebijakan politik penempatan warga China di Tibet diambil sebagai satu-satunya penyelesaian. Artinya, jika tidak dapat membuat mereka menjadi orang China, maka warga China lah yang ditempatkan di Tibet. Melalui kebijakan itu warga Tibet menjadi penduduk minoritas yang termarjinal. China beranggapan masalah dapat diselesaikan melalui langkah itu.”
Dominasi China di Tibet
Tibet kini semakin mudah dicapai. Sejak 2006 bahkan ada jalur kereta api di wilayah itu. Jalur ini memungkinkan semakin banyak warga China yang datang ke Tibet.
Dieter Schuh mengatakan, pada umumnya orang China melakukan dua tugas di Tibet:
„Mereka mendominasi jabatan di bagian administrasi pemerintahan dan militer. Kebanyakan tentara China ditempatkan di wilayah itu. Dan mayoritas di situ terutama sibuk menguras kekayaan alam di Tibet.
Demonstran di Lhasa, 14 Maret 2008

Tibet memang merupakan gudang kekayaan alam. Misalnya, pertambangan krom terpenting China terdapat di Tibet. Sungai-sungai terpenting Asia bersumber di negeri itu. Belum lagi peranan strategisnya. Tibet adalah zona penahan menghadapi negara tetangga di selatan dan India, saingan China. Pada tahun 60-an China bahkan pernah berperang dengan negara adidaya nuklir itu. Di sini mungkin juga tersimpan alasan-alasan kepentingan China terhadap Tibet. (cs)
In 2004, more than 3,797 people were executed in 25 countries and at least 7,395 were sentenced to death according to Amnesty International. Out of 3,797 executions 3,400 were carried out in China, but sources inside the country have estimated the number to be nearly 10,000.
(Amnesty International, Death sentences and executions in 2004, published in April 2005)
20041202_320041202_2
20041202_4
20041202_520041202_6
20041202_7
20041202_8
20041202_9
20041202_0
20041202_X
“In such a world of conflict, a world of victims and executioners, it is the job of thinking people, not to be on the side of the executioners” 
Albert Camus
__._,_.___

No comments:

Post a Comment

KL BEIJING 2013 - PHASE SHANGSHIZHEN - BEIJING, CHINA (2,585 km, 1 day 8 hours)

HANOI - LANG SON, VIETNAM (156 km, 2 hours 26 mins)

BANGKOK HANOI (1,388 km, 19 hours 15 mins)

KUALA LUMPUR BANGKOK (1,494 km, 20 hours 26 mins)